Jim
Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film
“The Passion Of Jesus Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film
itu.
JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA
DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK
YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG
YANG BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI
BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.
Dalam Thin
Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong
teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing
musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya
musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan
rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari
aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama
disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Saya
terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah
film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai
peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika
tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang
bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya?
Mereka pasti bercanda.
Besok paginya saya mendapat
sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel
siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson,
salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian
meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.
Saat kami
bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan
dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang
pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit
dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan
dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.
Dan Mel
kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang
mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin
akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.
Sebagai
manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang
biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam
film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh
sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan
di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia
perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan saya
apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah
engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ
(Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus
Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah,
terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan
hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni
karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan
sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul
salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih
salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!
Maka saya
pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter
selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya
melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang
Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia
dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya
hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan
yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini.
Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu
saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari
keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga
memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.
Saya
hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan
kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun
cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya
sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh
hidup saya.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam
casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah
harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya
mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil
sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini
saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah
merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang
mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan
membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku,
maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.
Saya tidak
membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan
saya.
Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa
boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di
lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa
menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum
kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari
syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan
seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka
meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan,
mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh
terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa
memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.
Yang
terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh
saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong
kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar
biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat
saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan
dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya
terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.
Sungguh
saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun
saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam
pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya
ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya
menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak
tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan
seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya,
maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil
saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu
dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar
bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan
salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib
yang lebih kecil dari aslinya.
Bagian
syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik
bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya
gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu
sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm.
Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian
sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak
kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya.
Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian
paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban.
Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru
dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan
dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib,
diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup
seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia
(penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh
tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan.
Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua
tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh
depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas
kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan
menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu
lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada
batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir
gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus
lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru
pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi
kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa,
masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu,
bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami
penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik
maupun jiwaNya.
Dan peristiwa terakhir yang merupakan
mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib.
Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat
sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan
gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang
seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung
diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya
adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar.
Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir,
sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan
suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya
pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.
Yang saya
tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya,
saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya,
sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti
ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang
berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan
terjadi disini).
“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya.
Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas
salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya
menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model
Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan
merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau
menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi,
apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus
berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu
benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap
iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat
dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaan
saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar
biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama
syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami
semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau
merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah
pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu
mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang
terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu
adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima
Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh
luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan
profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu
mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan
sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi
ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan
tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus
memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film
ini.
Saya harap mereka yang menonton The
Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya
hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian
melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran
saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.
Tetap
pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak
bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak
terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah
hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda.
Amin.
“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”
SUMBER
No comments:
Post a Comment